Untuk pertama kalinya dalam sejarah berdirinya Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta, majelis hakim memvonis terdakwa kasus korupsi
dengan vonis bebas. Hotasi DP Nababan, mantan Direktur PT Merpati
Nusantara Airlines (MNA), divonis bebas oleh majelis hakim yang
diketuai Pangeran Napitupulu pada Selasa (19/2).
Dalam sidang terpisah dengan perkara yang sama, mantan General Manajer
PT MNA, Tony Sudjiarto akhirnya juga divonis bebas.
"Menyatakan terdakwa Hotasi DP Nababan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan
primer dan subsider. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan
tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta
harkat dan martabatnya," kata Ketua Majelis Hakim, Pangeran
Napitupulu.
Pasal yang didakwakan kepada Hotasi dan Tony dan dinyatakan semuanya
tidak terbukti adalah dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
sebagaimana telah diubah dalam UU No 20 Tahun 2001, dan dakwaan
subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor junctoPasal 55
ayat (1) ke-1 KUHPidana. Jaksa sebelumnya menuntut Hotasi dengan
pidana penjara empat tahun dan denda Rp 500 juta subsider kurungan
enam bulan.
Vonis bebas ini langsung disambut tangis haru dari anggota keluarganya
dan tepuk tangan gembira dari kolega dan rekan Hotasi yang hadir.
"Masih ada keadilan ternyata. Gusti Allah ora sare," teriak seorang
pengunjung. "Hidup hakim," pekik pengunjung lainnya.
Penasehat hukum Hotasi, Juniver Girsang, mengatakan langsung menerima
putusan tersebut secara mutlak. Sementara, jaksa dari Kejaksaan Agung,
Aryawan, mengatakan pikir-pikir dulu. "Dengan demikian, kami ingatkan,
putusan ini belum berkekuatan hukum karena jaksa masih pikir-pikir,"
kata Napitupulu.
Risiko bisnis
Perkara ini masih ke Pengadilan Tipikor karena jaksa dari Kejaksaan
Agung menganggap ada korupsi yang merugikan negara dalam praktik
penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 oleh PT MNA.
Pesawat disewa melalui perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone
Aircraft Group (TALG). TALG sendiri menyewa pesawat dari perusahaan
East Dover.
Pokok masalahnya adalah TALG akhirnya tak menepati janjinya untuk
mengirimkan kedua pesawat, padahal PT MNA sudah menyetorkan deposit
dana atau security deposit sebesar 1 juta dollar AS kepada TALG
melalui kantor pengacara Hume Associates. Deposit dana yang seharusnya
bersifat bisa dikembalikan, ternyata tak dikembalikan oleh TALG.
Dana 1 juta dollar AS itulah yang dianggap jaksa sebagai kerugian
negara. Kejaksaan akhirnya menyeret Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto
selaku mantan General Manager PT MNA dalam perkara ini.
Hingga kini, PT MNA masih mengupayakan security deposit tersebut agar
kembali dan dalam buku keuangan dicatat sebagai piutang yang harus
dikejar. PT MNA juga sudah menggugat TALG di pengadilan Washington DC,
Amerika Serikat, yang dimenangkan oleh PT MNA. Namun, kasus ini tetap
digulirkan ke pengadilan oleh Kejaksaan Agung.
Pangeran Napitupulu dalam amar putusannya menyebutkan, kondisi
keuangan PT MNA tahun 2006 sangat parah dengan kemampuan produksi yang
rendah, serta harus menanggung biaya yang tinggi. Rendahnya kemampuan
tersebut salah satunya disebabkan karena jumlah pesawat yang sangat
sedikit, hanya 25 unit, ak sebanding dengan jumlah sumber daya
manusia PT MNA.
Hotasi masuk ke PT MNA di tengah kondisi keuangan yang buruk. Untuk
memperbaiki kinerja perusahaan, tak ada pilihan bagi PT MNA kecuali
dengan menambah pesawat. Maka, pada Rapat Kerja Anggaran Perusahaan
(RKAP) 2006, disebutkan perlu adanya penambahan pesawat meskipun jenis
pesawat tak eksplisit disebutkan.
Namun, terdapat klausul dalam RKAP yang menyebutkan apabila direksi
menganggap perlu maka bisa dilakukan menyewa pesawat tertentu. Karena
itu, keputusan untuk menyewa pesawat Boeing tipe 737 seri 400 dan seri
500 tersebut menurut hakim tak melanggar hukum.
Majelis hakim juga mencatat, kecepatan dan ketetapatan dalam mengambil
keputusan memang perlu diambil jajaran direksi di tengah persaingan
yang ketat. Namun, perlu prinsip kehati-hatian dalam mengambil
keputusan guna meminimalisir risiko.
Risiko bisnis tidak bisa ditiadakan sama sekali, yang diperlukan
adalah bagaimana memitigasi risiko bisnis tersebut. Namun, tidak mudah
bagi perusahaan PT MNA untuk menghadapi hal tersebut karena tidak
dipercaya oleh pihak yang menyewakan pesawat akibat selalu merugi dan
sering telat membayar uang sewa. "Hotasi Nababan tak lepas dari risiko
itu," papar hakim Alexander Marwata.
Manajemen PT MNA berusaha memilih mengambil kesempatan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan dan majelia hakim menganggapnya itulah
keputusan bisnis. Soal security deposit yang tak bisa ditarik lagi
oleh PT MNA, majelis hakim memakluminya sebagai risiko bisnis.
"Manajemen telah memitigasi risiko bisnis tetapi ketika TALG tak punya
itikad baik, itu bukan di bawah kendali PT MNA," kata Napitupulu.
Dalam kondisi seperti itu, PT MNA berhak mengakiri perjanjian dan TLGA
harus mengembalikan security deposit. PT MNA dianggap sudah memenuhi
kewajiban seperti tertuang dalam perjanjian pesawat dan perjanjian
pembayaran.
Akibat kegagalan TALG yang tak bisa mengirim pesawat dan tak juga
mengembalikan security deposit, PT MNA pun telah mengajukan kasus itu
ke pengadilan di Washington DC, Amerika Serikat. Hasilnya, TALG
dinyatakan telah wanprestasi dan mengharuskan TALG mengembalikan
security deposit beserta bunganya.
Dalam mengambil keputusan bisnis, berdasarkan undang-undang Perseroan
Terbatas, manajemen PT MNA dianggap telah memenuhi kriteria dalam
memiliki informasi yang dianggapnya benar, tidak memiliki kepentingan,
memiliki itikad baik, dan memiliki dasar rasional.
Majelis hakim berkeyakinan, unsur melawan hukum dalam dakwaan primer
tidak terbukti.
"Majelis hakim berpendapat, tindakan Hotasi dengan menyewa pesawat
tersebut sudah dilakukan dengan hati-hati, beritikad baik, dan demi
kepentingan perusahaan. Dengan demikian, unsur melawan hukum yang
dikatakan tidak hati-hati dan tidak berdasarkan prinsip good
governance, tidak terbukti," kata Napitupulu.
Dakwaan subsider juga tak bisa dibuktikan. Salah satu
pertimbangannya, PT MNA memiliki itikad dengan masih mengupayakan
untuk mengembalikan security deposit termasuk memidanakan TALG di
Amerika Serikat. "Majelis hakim tidak melihat adanya niat dari
terdakwa untuk memperkaya TALG dengan security deposit sebesar 1 juta
dollar AS. Dengan demikian, unsur menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau korporasi, tidak terbukti secara hukum. Dengan demikian
dakwaan subsider haruslah dinyatakan tidak terbukti," kata Napitupulu.
Dengan tak terbuktinya dakwaan primer dan dakwaan subsider, maka
terdakwa Hotasi Nababan harus dibebaskan dari seluruh dakwaan.
"Majelis hakim juga menyatakan sepakat dengan nota pembelaan atau
pledoi yang dibuat Hotasi dan penasehat hukumnya," kata Napitupulu.
Dalam putusan tersebut, tidak tercapai kata mufakat diantara anggota
hakim. Hakim anggota 1 yaitu Hendra Yosfin, mengajukan dissenting
opinion atau beda pendapat. Hendra berpendapat, penyewaan pesawat tak
tercantum dalam RKAP 2006 dan pembayaran security deposit hanya
menggunakan prosedur uji tuntas yang sangat minimal. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment