Lemahnya dakwaan pidana korupsi terhadap mantan Direktur Utama PT
Merpati Nusantara Airlines, Hotasi DP Nababan, yang akhirnya berujung
vonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, dinilai para ahli hukum telah mempermalukan dan mencoreng
korps Kejaksaan Agung. Dalam hal ini, pimpinan institusi kejaksaan
pantas ikut bertanggung jawab karena tak mungkin kasus yang menyita
perhatian publik diserahkan hanya pada jaksa fungsional.
Ahli hukum acara pidana yang juga pengajar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Hasril Hertanto, dan ahli hukum pidana korupsi Akhiar
Salmi, yang dihubungi terpisah di Jakarta, Rabu (20/19), sepakat bahwa
perkara vonis bebas yang pertama kali terjadi di Pengadilan Tipikor
Jakarta ini telah mempermalukan cara kerja Kejagung. Namun demikian,
inilah momentum berbenah bagi Kejagung untuk memurnikan niat
pemberantasan korupsi tanpa ditunggangi kepentingan personal.
Secara spesifik, Hasril Hertanto mengatakan jajaran pengawasan
Kejagung perlu menggelar eksaminasi perkara Hotasi sejak penyidikan
hingga persidangan untuk mengetahui apakah ada kepentingan personal
dalam menetapkan kasus sewa-menyewa pesawat tersebut masuk dalam ranah
pidana korupsi. "Kasus ini ini sangat memalukan bagi kejaksaan,
meskipun sah-sah saja," katanya.
Menurut Hasril, pasti sudah ada masalah mulai tingkat penyidikan yang
dilakukan bagian pidana khusus kejaksaan. Eksaminasi nanti akan
bermanfaat bagi kejaksaan karena diharapkan akan menimbulkan efek
deteren atau efek pencegahan terhadap jaksa-jaksa lain yang memegang
kasus korupsi. "Jaksa-jaksa lain yang memegang kasus korupsi agar
lebih berhati-hati jangan sampai mempermalukan korps sendiri
nantinya," kata Hasril.
Dalam kasus ini, jaksa agung muda pidana khusus Kejagung memiliki
andil besar karena dialah yang menyidik kasus ini. "Pidsus yang
menyidik tapi kok hasilnya mencoreng muka sendiri," kata Hasril.
Eksaminasi nanti akan memperlihatkan adanya kelemahan di kejaksaan
sendiri, baik kelemahan personal maupun kelemahan di sistem
kelembagaannya. Masalah pengawasan terhadap kasus tersebut juga
dinilai lemah. "Ini harus diperbaiki oleh kejaksaan. Atau secara
personal mereka sudah punya kepentingan tertentu atau 'masuk angin'?
Ini harus segera diatasi," papar Hasril.
Sebenarnya kejaksaan telah memiliki kebijakan untuk menentukan mana
perkara yang strategis mana yang tidak. "Saya melihatnya pada kasus
Hotasi, yang dibidik adalah BUMN. Jika sudah menyangkut BUMN, saya
pikir levelnya sudah harus dengan persetujuan jaksa agung muda atau
bahkan bisa jaksa agung," kata Hasril.
Akhiar Salmi mengatakan, kasus vonis bebas Hotasi yang memang
perkaranya lebih ke perdata, menunjukkan lemahnya sistem gelar perkara
yang telah dimiliki kejagung. Seharusnya, jika tak ada agenda
kepentingan personal, ketika di gelar perkara sudah terlihat apakah
sebuah kasus itu layak menjadi perkara perdata ataukah pidana korupsi.
"Kejaksaan harus tajam melihat mana yang ranah pidana mana yang ranah
perdata. Ini pelajaran penting bagi kejaksaan," kata Akhiar. Jika
kejaksaan tetap bersikukuh kasus ini layak menjadi kasus pidana
korupsi, langkah terbaik bagi kejaksaan adalah mengajukan kasasi kasus
Hotasi, sekalian untuk benar-benar menguji bahwa ada kesalahan
berfikir soal ranah pidana dan ranah perdata.
Ke depannya, agar kasus-kasus remeh-temeh tak sembarangan masuk ke
pengadilan, Akhiar menyarankan kejaksaan mengaji betul apakah sebuah
perkara pantas masuk perdata atau pidana. Dari sisi sumber daya
manusia, menurut Akhiar, tak ada masalah di Kejagung karena banyak
yang lulusan sarjana S2 dan S3. Kalaupun kekurangan, terbuka lebar
bagi Kejagung untuk menghadirkan ahli terbaik yang dimiliki Indonesia.
Karena itu, tak berlebihan jika banyaknya perkara di kejaksaan yang
dipaksakan masuk dalam ranah pidana korupsi, terkait dengan
kepentingan personal seseorang di Kejagung. Ditengarai, setelah kasus
Hotasi, masih ada beberapa kasus yang ditangani kejaksaan yang
sekarang sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, terkesan
dipaksakan sebagai pidana korupsi.
Hasril berharap, para jaksa di Kejagung tak hanya menjadi robot untuk
menjalankan target-target kuantitas perkara korupsi yang dipatok oleh
pimpinan. "Kalau melihat instrumen peraturan yang ada dan pendanaan
setiap perkara, saya kira tak ada masalah. Yang patut dipertanyakan
adalah, apakah dalam menggulirkan sebuah perkara korupsi, kejaksaan
membawa kepentingan tertentu atau tidak. Kalau saya menduga, ini ada
masalah dan kepentingan personal di Kejaksaan," kata Hasril.
Sisi lainnya, kata Hasril, perlu dilihat target-target yang dibebankan
pada jaksa agar ditinjau lagi. Jangan sampai ada target-target minimal
dalam angka-angka yang bisa menekan jaksa untuk berburu kasus. "Kalau
tak ada kasus, mereka bisa mencari-cari kasus untuk mengejar target.
Namun saya yakin untuk kasus besar seperti Hotasi, pimpinan pasti
terlibat menentukan," kata Hasril. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment