Pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang dihadirkan sebagai saksi
dalam sidang perkara dugaan bioremediasi fiktif oleh PT Chevron
Pacific Indonesia (Chevron) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Rabu (27/3), dicecar jaksa penuntut umum terkait izin
pengolahan biormediasi. Ternyata, izin pemrosesan bioremediasi
Chevron yang menjadi pengawasan KLH sempat habis.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih
menghadirkan terdakwa Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya.
Sumigita Jaya adalah salah satu perusahaan yang menjadi kontraktor
pekerjaan bioremediasi Chevron.
Sedangkan saksi dari KLH yang dihadirkan adalah Deputi IV Bidang
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup,
Masnellyarti Hilman. Pihak KLH dalam sidang kali ini lebih banyak
memberikan keterangan yang meringankan terdakwa.
Jaksa penuntut umum, DP Marbun, mempertanyakan soal izin pengolahan
limbah dengan teknik bioremediasi yang dikantongi Chevron. Terungkap,
izin lima tahunan milik Chevron di dua lokasi pengolahan bioremediasi
sempat habis pada tahun 2008 (areal Kota Batak) dan tahun 2008 (areal
Minas).
Karena itu, timbul pertanyaan soal status pengolahan bioremediasi di
tahun-tahun ketika izin tersebut sudah habis. Terungkap, izin baru
untuk pemrosesan bioremediasi baru terbit pada April 2012.
Namun, matinya izin Chevron tersebut bukan semata kesalahan Chevron
karena pihak Chevron ternyata sudah mengajukan izin perpanjangan satu
bulan sebelum izin berakhir kepada KLH. Hanya saja, pengajuan
perpanjangan itu tidak langsung diberikan KLH karena Chevron diminta
melengkapi dokumen AMDAL. Inilah awal petaka karena penuntut umum
mempermasalahkan proses bioremediasi yang izinnya telah habis.
Kemungkinan gara-gara izin yang terlambat itu, tahun 2010, Chevron
sempat mendapat peringkat Proper merah yang berarti limbah tak
dikelola dengan baik karena KLH melihat banyak tumpukan limbah
terkontaminasi yang tak terolah. Chevron akhirnya diharuskan KLH
Untuk melakukan pemulihan. Desember 2010, pihak Chevron mendatangi KLH
untuk membahasa lahan terkontaminasi tersebut.
"Dia (Chevron) kemudian pada 11 Mei 2011 sudah melengkapi persyaratan
izin dengan AMDAL," kata Masnellyarti. Setelah dilakukan pertemuan
dan verifikasi lapangan, April 2012 izin bioremediasi baru terbit.
Masnellyarti menjelaskan, berdasarkan SK Menteri KLH tentang
pengawasan, bioremediasi Chevron setelah izin habis tak mengurangi
nilai ketaatan perusahaan. Masnellyarti menjelaskan dua asas taat,
yaitu punya izin, atau secara teknis sudah mengajukan izin namun masih
dalam proses.
Secara teknis persyaratan izin sudah memenuhi syarat sesuai Kepmen No
128 Tahun 2003. Setiap langkah harus disetujui KLH dan produk
persetujuan berupa berita acara yang dibuat KLH. Di akhir proses, KLH
telah menerbitkan Surat Status Penyelesaian Lahan Terkontaminasi
(SSPLT) tahun 2012 yang menyatakan lahan terkontaminasi sudah bersih.
Penuntut umum DP Marbun juga mempertanyakan izin bioremediasi
diberikan kepada pihak mana, apakah Chevron ataukah pihak ketiga
(kontraktor) yang mengerjakan bioremediasi. Pertanyaan ini krusial
karena menyangkut dakwaan yang menyatakan kontraktor pelaksana
bioremediasi yang digunakan Chevron tak memiliki izin pemrosesan
bioremediasi.
"Izin diberikan kepada Chevron. Kalau ada yang salah, tanggung jawab
ada di Chevron. Pada pengerjaan mau pake pihak ketiga atau tidak, tak
ada urusannya dengan KLH," kata Masnellyarti.
Ketentuan tersebut berdasarkan PP No18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah B3 juncto PP No 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 18
Tahun 1999. "KLH tak mewajibkan pihak ketiga punya izin, kita melihat
Chevron-nya. Dalam PP sudah jelas yang wajib punya izin adalah
penghasil limbah," kata Masnellyarti.
Pihak ketiga baru diwajibkan memiliki izin, jika pemrosesan limbah
tersebut diserahkan ke pihak ketiga dan dilakukan di luar areal
penghasil limbah. Chevron menyerahkan pemrosesan bioremediasi ke pihak
ketiga namun pengolahan tersebut masih di dalam fasilitas Chevron.
Penasehat hukum terdakwa, Dion Y Pongkor, menanyakan ke saksi terkait
isi dakwaan. Dikatakan, perusahaan milik terdakwa bukanlah perusahaan
yang bergerak dalam pengolahan bioremediasi dan bertentangan dengan
Pasal 3 Kepmen No 128 Tahun 2003.
"Apakah ada larangan dalam Kepmen No 128 tersebut untuk pelaksanaan
bioremediasi yang dilakukan pihak ketiga?" tanya Dion. Masnellyarti
menjawab tidak ada larangan itu karena tanggung jawab penuh ada di
pembuat izin yang merupakan perusahaan penghasil limbah.
Kasus ini bisa masuk ke pengadilan Tipikor karena Kejaksaan Agung
menganggap pekerjaan bioremediasi di lahan Chevron yang dilakukan
kontraktor, yaitu PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya,
dianggap fiktif dan merugikan keuangan negara. Dua kontraktor
tersebut dianggap tak memenuhi klasifikasi teknis, diantaranya tak
memiliki sertifikasi dan izin pengolahan limbah. (Amir Sodikin)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment