Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (6/2),
akhirnya memvonis Jacob Purwono dengan pidana penjara sembilan tahun,
denda Rp 300 juta subsider kurungan enam bulan. Sementara anak
buahnya, Kosasih Abbas dijatuhi hukuman pidana penjara empat tahun dan
denda Rp 150 juta subsider kurungan tiga bulan.
Jacob Purwono, mantan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
(LPE) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, adalah terdakwa 1
perkara korupsi proyek pengadaan dan pemasangan listrik untuk
perdesaan atau solar home system (SHS) yang dibiayai Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2007 dan 2008. Sementara,
Kosasih Abbas, mantan Kepala Subdirektorat Usaha Energi Baru dan
Terbarukan Ditjen LPE, adalah terdakwa 2.
Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Sujatmiko, Jacob
dan Kosasih juga diperintahkan membayar uang pengganti kerugian negara
sebesar masing-masing Rp 1,030 miliar dan Rp 550 juta selambatnya satu
bulan setelah keputusan pengadilan memperolah kekuatan hukum tetap.
Jika tidak dibayar, maka seluruh harta mereka akan disita dan dilelang
untuk negara. Jika nilainya tak mencukupi, maka masing-masing akan
dikenai hukuman penjara dua tahun untuk Jacob dan satu tahun untuk
Kosasih.
Tak hanya menghukum dua terdakwa tersebut, majelis hakim juga
memerintahkan perusahaan dan perseorangan yang menerima keuntungan
tidak sah dari proyek ini juga harus mengembalikan dana kepada negara.
Total ada 42 perusahaan dan perorangan yang diwajibkan mengembalikan
dana yang berkisar jutaan rupiah hingga miliaran rupiah.
Vonis untuk Jacob lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yaitu 12 tahun
penjara, sementara untuk Kosasih hukumannya sama dengan tuntutan yaitu
4 tahun penjara. Jika dalam tuntutan jaksa, faktor justice
collaborator yang ditetapkan untuk Kosasih menjadi faktor yang
memperingan, maka pada surat putusan majelis hakim setebal lebih dari
1.200 halaman itu tak menyinggung soal justice collaborator.
Kosasih kecewa
Usai persidangan, Kosasih menyatakan kekecewaanya terhadap amar
putusan majelis hakim yang tak memperhitungkan perannya sebagai
justice collaborator. Saat majelis hakim menyatakan para terdakwa tak
terbukti bersalah berdasarkan dakwaan primer, Kosasih sangat yakin
hukumannya bakal berkurang dari tuntutan jaksa empat tahun penjara.
"Kalau dakwaan primer itu kan minimal hukumannya 4 tahun, sementara
dakwaan subsider minimal sampai 1 tahun. Setidaknya saya sempat
berharap bisa turun hukumannya sampai 2/3 tuntutan jaksa," kata
Kosasih.
Padahal, kata Kosasih, Jacob saja yang tidak mau kooperatif di
persidangan hukumannya bisa berkurang dari 12 tahun menjadi 9 tahun.
"Sementara saya masih tetap 4 tahun, ini akan berbahaya karena
nantinya orang-orang yang akan jadi justice collaborator berhitung
dulu," katanya.
Ketua Majelis Hakim Sujatmiko memaparkan, Jacob dan Kosasih tidak
terbukti melanggar dakwaan primer sebagaimana dakwaan jaksa penuntut
umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Keduanya dianggap lebih
memenuhi unsur dalam daksaan subsider sesuai Pasal 3 juncto Pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto pasal 65 ayat 1
KUHPidana.
Hal memberatkan untuk Jacob, kata Sujatmiko, adalah yang bersangkutan
tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, tidak
memberikan teladan bagi jajarannya dalam kedinasan, tidak mengakui
perbuatan, dan tidak menyesali perbuatan. Sementara, "Hal memberatkan
Kosasih adalah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan
korupsi, dan tidak bisa menolak permintaan atasannya," paparnya.
Hal-hal yang meringankan Jacob adalah memiliki tanggungan keluarga dan
pernah mendapat penghargaan dari pemerintah diantaranya Satyalencana.
Sementara pertimbangan Kosasih adalah memiliki tanggungan keluarga dan
mengakui perbuatan dalam persidangan.
Majelis hakim lebih memilih dakwaan subsider karena unsur setiap orang
dalam dakwaan pertama kurang kuat menjelaskan secara rinci perbuatan
pidana dilakukan oleh para terdakwa. Sementara dalam dakwaan subsider,
keempat unsur bisa terpenuhi dalam Pasal 3.
Keempat unsur tersebut adalah: setiap orang; dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan; dan merugikan keuangan negara.
Dakwaan subsider ini ancamannya adalah penjara paling singkat 1 tahun
dan paling lama 20 tahun, sementara dakwaan primer ancamannya penjara
paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Kertas kuning
Bukti berupa kertas kuning yang merupakan tulisan tangan Jacob
Purwono, yang sempat disimpan Kosasih, menjadi salah satu penentu
untuk mengungkap peran Jacob dalam permainan proyek SHS tersebut.
Tulisan itu memuat nama orang-orang yang berpengaruh beserta
perusahaan-perusahaan titipan yang harus dimenangkan dalam tender
proyek.
Kosasih memaknai isi kertas tersebut merupakan perintah Jacob kepada
Kosasih agar memenangkan perusahaan titipan. Sementara, Jacob
berpendapat tulisan itu hanyalah untuk menjelaskan bahwa tak mungkin
Kosasih bisa membagi pekerjaan proyek kepada semua orang yang meminta
dimenangkan perusahaanya.
Terhadap alasan Jacob, hakim anggota I Made Hendra Kusuma, memaparkan
argumentasi itu ganjil dan tidak rasional. Jika Jacob bilang proyek
tak bisa dibagi pada semua orang, mengapa pada catatan tersebut
tercantum nama-nama perusahaan yang akhirnya memenangkan lelang.
Karena itu, pledoi Jacob ditolak.
Jacob sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan Kosasih sebagai Pejabat
Pembuat Komitmen disimpulkan telah telah menyalahgunakan kewenangannya
yang bisa merugikan keuangan negara. Total kerugian keuangan negara
dari proyek 2007 dan 2008 adalah Rp 80 miliar.
Sejak perencanaan hingga pengadaan, hakim menilai ada kerjasama
sempurna antara Jacob dan Kosasih. Terungkap bahwa Jacob dengan terang
telah memberi pengarahan kepada Kosasih sebelum proyek berjalan agar
tidak menolak pemberian uang dari perusahaan yang mengikuti lelang
karena institusinya sedang membutuhkan biaya.
Beda pendapat
Keputusan majelis hakim tidak bisa diambil secara bulat karena ada dua
hakim anggota yang beda pendapat (dissenting opinion), mereka adalah
Aviantara dan Annas Mustakim. Menurut keduanya, para terdakwa lebih
tepat dijerat dengan dakwaan primer Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Alasannya, unsur-unsur pada dakwaan primer bersifat lebih umum
dibanding dakwaan subsider yang lebih khusus. Aviantara berpendapat,
bila terbukti Pasal 3, maka terbukti juga Pasal 2. "Pasal 2 lebih
luas, mencakup siapa saja baik yang memiliki jabatan dan kewenangan
maupun tidak," katanya.
Unsur melawan hukum Pasal 2 juga lebih luas definisinya.
Penyalahgunaan wewenang seperti pada unsur Pasal 3, papar Aviantara,
termasuk juga dalam perbuatan melawan hukum seperti pada Pasal.
Menguntungkan diri sendiri pada Pasal 2, bisa lebih luas dibanding
memperkaya diri sendiri pada Pasal 3, misal penggunaan fasilitas
gedung.
Jacob dan Kosasih beserta penasehat hukum masing-masing menyatakan
pikir-pikir. Tim JPU KPK menyatakan hal yang sama. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment