Perang pledoi atau pembelaan antara kubu Jacob Purwono (terdakwa 1)
dan Kosasih Abbas (terdakwa 2) dalam sidang perkara korupsi pengadaan
dan pemasangan solar home system atau listrik untuk perdesaan di
Departeman Energi dan Sumber Daya Mineral tak terhindarkan lagi.
Kosasih telah mengaku bersalah namun memohon majelis hakim agar
meminta pertanggungjawaban sejumlah nama penting termasuk anggota DPR
dan pejabat yang telah menerima harta hasil korupsi.
Sementara, kubu Jacob Purwono, mantan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan
Energi Departemen ESDM, memprotes penetapan Kosasih, saat itu Kepala
Sub Direktorat Usaha Energi Baru dan Terbarukan Ditjen LPE, oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai justice collaborator. Sidang
dengan pembacaan pledoi digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta, Rabu (30/1), dengan dipimpin Ketua Majelis Hakim Sujatmiko.
Dalam pledoi pribadinya, Kosasih yang ketika itu menjadi Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) mengatakan dirinya selalu mendapat arahan dan
instruksi dari Jacob selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk memenangkan
perusahaan-perusahaan titipan orang-orang penting. Daftar perusahaan
titipan itu disampaikan kepada Dothor Panjaitan selaku Ketua Panitia
Pengadaan. "Saya hanya berperan sebagai penyampai pesan," kata
Kosasih.
Dengan arahan-arahan dari Jacob, wewenang Kosasih selaku Pejabat
Pembuat Komitmen menjadi mandul, tidak independen, dan peran
menetapkan pemenang lelang hampir tidak ada lagi. "Saya dan panitia
lelang tidak bisa berbuat banyak karena di balik perusahaan-perusahaan
tersebut berdiri orang besar dan penting yang sulit untuk dilawan,"
katanya.
Orang penting tersebut adalah anggota DPR seperti Gusti Iskandar,
Herman Heri, Yusrin Nasution, Sutan Bhatoegana, juga anggota BIN
bernama Rahman Pelu, dan Gories Mere dari kepolisian. Selama menjadi
Pejabat Pembuat Komitmen tahun 2007 dan 2008, atas perintah Jacob,
Kosasih telah menerima uang total Rp 9,8 miliar dari berbagai
perusahaan yang dimenangkan dalam tender.
Kosasih dengan persetujuan Jacob menggunakan uang tersebut untuk
delapan jenis keperluan. Salah satunya untuk gratifikasi sejumlah nama
penting anggota DPR Komisi VIII, diantaranya Sutan Bhatoegana, Sony
Keraf, Waty Amir, Rafiudin, Nizar Dahlan, Ahmad Farial, dan Bambang
Pacul. Total uang untuk anggota Komisi VIII adalah Rp 575 juta.
Kemudian pemberian uang Rp 2 miliar kepada Waryono Karno, Sekretaris
Jenderal Departemen ESDM. Juga pemberian kepada oknum jaksa agung muda
intelijen Kejaksaan Agung sebesar Rp 1,25 miliar.
Dari berbagai pengeluaran tersebut, tersisa Rp 235,8 juta untuk
Kosasih. "Saya telah mengembalikan uang ke KPK sebesar Rp 150 juta,
sisanya akan segera saya kembalikan ke negara," katanya.
Kosasih memohon majelis hakim agar meminta pertanggungjawaban kepada
nama-nama penting tersebut agar mengembalikan uang yang totalnya Rp
3,875 miliar. "Meminta pertangungjawaban orang penting seperti
mengejar bayang-bayang. Namun saya yakin dengan sumber daya KPK,
pengusutan masalah ini bukan perkara sulit," kata Kosasih.
Karena itu, Kosasih merasa keberatan jika harus mengembalikan total Rp
2,854 miliar sebagai uang pengganti sebagaimana dalam tuntutan jaksa.
"Uang yang saya nikmati tak sebesar itu," papar Kosasih.
Protes justice collaborator
Penasehat hukum Jacob Purwono, Bhakti Dewanto, dalam pledoinya
memprotes kebijakan KPK yang menetapkan terdakwa Kosasih sebagai
justice collaborator. "Kosasih bukanlah peniup peluit pertama dalam
upaya membongkar kasus korupsi ini. KPK lah yang proaktif melakukan
penyelidikan berdasarkan laporan masyarakat," katanya.
Ketika menjadi tersangka, barulah Kosasih mengajukan permohonan
menjadi justice collaborator. Bhakti menyayangkan, justice
collaborator telah menjadi ajang pelarian motivasi tersembunyi yang
dilandasi itikad buruk untuk menyelamatkan diri peribadi dan
melemparkan tanggung jawab kepada terdakwa lain.
Pengertian justice collaborator dapat ditemukan pada Surat Edaran
Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower
dan Justice Collaborator. Dalan surat edaran tersebut, justice
collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu,
tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia
menjadi saksi dalam proses peradilan.
Dalam suarat keputusan bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, Kejaksaan Agung, Kepolisian, KPK, dan Mahkamah Agung, justice
collaborator diartikan sebagai seorang saksi yang juga merupakan
pelaku namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka
membongkar suatu perkara, bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan
korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Bhakti menyimpulkan, bersama dengan Jacob, Kosasih adalah termasuk
pelaku utama dalam perkara korupsi ini. Dengan demikian, Kosasih tak
berhak menyandang gelar justice collaborator.
Implementasi lebih jauh dari status justice collaborator dalam
perkara ini berarti Kosasih wajib menjadi saksi untuk Jacob. Namun,
karena dalam surat dakwaannya jaksa tak memisahkan kedua terdakwa
tersebut, berarti Kosasih tak bisa menjadi saksi untuk Jacob.
"Padahal, menjadi saksi adalah kewajiban utama seorang justice
collaborator," kata Bhakti. Bhakti menilai, KPK telah menggunakan
konsep dan pemahaman yang keliru soal justice collaborator yang
akhirnya berakitbat negatif pada kliennya yang tidak mendapatkan
persamaan hukum yang setara.
JPU juga dianggap hanya menggunakan keterangan dari Kosasih dalam
menyusun dakwaannya. "JPU nampak jelas tersandera oleh status justice
collaborator, keterangan Kosasih dianggap pasti keterangan yang
benar," kata Bhakti.
Membantah mengarahkan
Bhakti membantah kliennya telah mengarahkan Kosasih agar memenangkan
perusahaan titipan. Jacob sebenarnya hanya memberikan arahan normatif
dan justru meminta Kosasih berhati-hati agar tak terpengaruh oleh
berbagai tekanan.
Kosasih mendasarkan pada catatan selembar kertas warna kuning, yang
menurut keterangan Kosasih merupakan tulisan tangan Jacob, yang berisi
nama-nama penting yang dianggap menitipkan perusahaan. Catatan kertas
itu, kata Bhakti, multitafsir dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pembuktian.
Nama-nama yang disebut seperti anggota DPR yaitu Gusti Iskandar,
Herman Heri, Yusrin Nasution, Sutan Bhatoegana, anggota BIN bernama
Rahman Pelu, dan juga Gories Mere tersebut tak pernah dihadirkan dalam
persidangan.
Karena itu, Bhakti menganggap keterangan Kosasih tak bisa diterima
karena ia bukanlah saksi dan seandainya saksi maka satu saksi tak bisa
dianggap alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa II hanya berlaku
untuk dirinya sendiri yaitu Kosasih.
Jaksa Penuntut Umum pada KPK, Desma Asyari, menyatakan tetap pada
tuntutannya yang dibacakan pekan lalu. Ketua Majelis Hakim Sujatmiko
mengagendakan pembacaan putusan pada Rabu (6/2) pagi. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment