Pengunaan bahasa dan simbol-simbol agama dalam praktik komunikasi
korupsi di Indonesia makin canggih dan tersamar yang menunjukkan
semakin kronisnya korupsi yang telah memasuki ranah kehidupan sosial
sehari-hari. Perlu gerakan kolektif bersama untuk menekankan agar
regenerasi komunikasi korupsi para koruptor bisa terhenti.
Sosiolog Universitas Gadjat Mada, Arie Sudjito, dan pengamat psikologi
politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, di Jakarta, Senin (25/2),
keduanya sependapat kentalnya penggunaan simbol-simbol agama dan
bahasa sehari-hari dalam komunikasi korupsi merupakan bukti para
pelaku dengan sadar menjalankan korupsi seperti menjalankan rutinitas
harian.
Fenomena ini juga tantangan bagi penegak hukum agar memutakhirkan tren
percakapan politik saat ini yang sudah dikemas rapi untuk melancarkan
korupsi. Soalnya, penggunaan sandi 'apel malang' dan 'apel washington'
dalam perkara korupsi penggiringan anggaran yang melibatkan politisi
Angelina Sondakh, akhirnya gagal dibuktikan di persidangan karena
minimnya alat bukti.
Dalam sidang perkara korupsi pengadaan laboratorium komputer dan
penggandaan Al-Quran yang dibiayai Kementerian Agama dengan terdakwa
Zulkarnaen Djabar dan Dendy Putra pada pekan lalu, terungkap adanya
kata-kata sandi yang digunakan. Dintaranya kata 'santri' yang merujuk
pada orang suruhan Zulkarnaen yaitu Fahd el Fouz, 'pengajian' yang
merujuk kegiatan proyek yang akan dimenangkan, dan 'pesantren' yang
merujuk pada Kemenag.
Hamdi menambahkan, dalam dugaan korupsi yang melibatkan mantan
petinggi sebuah partai juga beredar isu penggunaan bahasa agama untuk
menyamarkan korupsi. "Sandi-sandi yang dipakai sebenarnya tak begitu
rumit dan bisa dengan mudah diasosiasikan. Tapi, justru karena itu
saya lebih khawatir," kata Hamdi.
Hamdi khawatir karena secara psikologis fenomena ini mengindikasikan
para koruptor sudah terbiasa dan profesional menjalankan praktik kotor
atau merasa memiliki backing kuat di aparat penegak hukum. "Bahkan
mereka merasa bisa menembus KPK. Ini yang merupakan indikasi gawat.
Kita prihatin karena koruptor merasa lebih hebat dari aparat
pemberantas korupsi," jelas Hamdi.
Politik biaya tinggi
Arie Sudjito memaparkan, para politisi saling mengerti setiap bahasa
sandi yang umum digunakan. Bahkan, dengan mudah mengerti sandi yang
tak biasa digunakan.
Sebagai konsekuensi politik berbiaya tinggi, mereka tahu sama tahu
bahwa ketika di depan publik harus bicara soal hal-hal baik seperti
moralitas. "Mereka juga tahu sama tahu, ketika sudah terkait mencuri
uang negara itu urusan mafia dan perlu digunakan bahasa sandi," kata
Arie.
Sandi-sandi bahkan diturunkan ke junior di lingkungan partai politik
sehingga praktik korupsi menjadi meregenerasi. "Inti persoalannya
bukan terletak pada orang per orangan, tapi ini sudah sistemik. Karena
itu, cara memberantasnya tidak sekadar menangkapi satu per satu," kata
Arie.
Menurut Arie, harus ada gerakan kolektif agar mereka mampu menolak
sistem yang buruk. "Banyak koruptor yang dikejar dan ditangkap tapi
hanya giliran terus, ada regenerasi dari generasi ke generasi
berikutnya," jelas Arie.
Bahayanya, praktik ini suda dianggap biasa dan saling memaklumi.
"Dulu dia punya moralitas kuat, tapi begitu masuk ke sistem akhirnya
ikut-ikutan. Lebih bahaya lagi, jika publik terus menerus dikondisikan
untuk menerima praktik ini sebagai hal biasa," kata Arie. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment