Simulator SIM: Kredit Diajukan Sebelum Ada Proyek


Kejanggalan proyek pengadaan simulator berkendara untuk ujian Surat
Izin Mengemudi di Korlantas Polri terendus sejak pengajuan kredit
usaha oleh pihak perusahaan ke bank. Ternyata, proyek tahun anggaran
2011 itu sudah disetujui kreditnya oleh BNI pada 2010 saat proyek
belum ada dan belum tentu pemenangnya perusahaan bersangkutan.

Sidang lanjutan dengan terdakwa Irjen (Pol) Djoko Susilo digelar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (21/5), dipimpin
Ketua Majelis Hakim Suhartoyo. Hari itu dihadirkan saksi pegawai Bank
BNI Gunung Sahari Jakarta Andip Muhfti, broker pencari perusahaan
pinjaman Warsono Sugantoro, dan pemilik perusahaan “pendamping” Parlin
Saragih Setio.

Andip menjelaskan, dirinyalah yang menerima pengajuan kredit dari Budi
Susanto selaku Direktur PT Citra Mandiri Metalindo (CMM) senilai Rp
101 miliar dan akhirnua disetujui Rp 100 miliar. Dana itulah yang
digunakan perusahaan Budi lainnya PT Citra Mandiri Metalindo Abadi
(CMMA) untuk menjalankan dengan menggandeng PT Inovasi Teknologi
Indonesia (ITI) milik Sukotjo S Bambang.

Terungkap, ternyata perusahaan Budi awalnya hanyalah perusahaan yang
memproduksi tutup botol. “Awalnya perusahaan tutup botol kemudian
meningkat usahanya menjadi pemasok plat nomor kendaraan,” kata Andip.

Suhartoyo bertanya, kenapa proyek TA 2011 bisa diajukan kreditnya pada
November 2010 dan disetujui Desember 2010. Andip berkilah, menurut
Budi, jika kredit diajukan 2011, takutnya tak bisa memenuhi target
waktu pengerjaan.

“Memang boleh?” tanya Suhartoyo yang dijawab Andip, “Ini kan
persiapan.” Andip menjelaskan PT CMM sudah lama menjadi debitur dan
pihak BNI telah memverifikasi proyek simulator. Soal verifikasi inilah
yang dipermasalahkan jaksa dalam dakwaannya karena diduga melibatkan
terdakwa.

Budi diharuskan menjaminkan Surat Perintah Kerja (SPK), padahal SPK
belum ada karena lelangnya sendiri belum ada, apalagi pemenangnya. SPK
baru diterima BNI pada Februari 2011 setelah satu kali pencairan dana.

Dalam dakwaan, untuk menjamin proyek tidak fiktif, BNI telah
memverifikasi kepada pejabat Polri yang berkompeten yaitu terdakwa
Djoko Susilo. Jaksa Kemas Abdul Roni mencecar soal klarifikasi ini.

Andip memaparkan, hasil verifikasi ke pejabat Polri adalah adanya
kepastian proyek simulator berkendara. Hakim Suhartoyo bertanya
kembali kepada siapa klarifikasi di Polri dilakukan? “Ke Pak DS,”
jawab Andip merujuk pada nama terdakwa.

“Apa korelasinya sehingga BNI harus klarifikasi ke kepolisian?” tanya
Roni. “Ini untuk menjamin pembiayaan tidak fiktif,” kata Andip.

Related Post

Dari awal BNI sudah tahu jika proyek akan dikerjakan perusahaan lain
yaitu PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI). “Kok disetujui padahal PT
ITI yang mengerjakan, SPK belum ada, proyek belum dikerjakan?” tanya
jaksa Roni. “Kita lakukan klarifikasi ke PT ITI dan PT CMM karena
mereka bermitra,” jawab Andip.

Penasehat hukum terdakwa, Teuku Nasrullah, bertanya apakah terdakwa
memberi rekomendasi agar perusahaan Budi mendapat kredit? “Tidak
pernah,” jawab Andip.

Pinjam perusahaan

Kejanggalan juga terjadi ketika pelaksanaan lelang dilakukan.
Ternyata, lelang sudah dirancang dengan hanya diikuti perusahaan milik
Budi yang didampingi perusahaan-perusahaan “pendamping” yang dipinjam.

Dalam dakwaan disebutkan, Budi atas sepengetahuan Ketua Panitia Lelang
Teddy Rusmawan memerintahkan Sukotjo untuk menyiapkan
perusahaan-perusahaan pendamping. Sukotjo kemudian meminta bantuan
Warsono Sugantoro alias Jumadi dengan memberi fee Rp 20 juta.

Di persidangan, saksi Warsono mengakui menerima Rp 20 juta untuk
peminjaman empat perusahaan dan Rp 53 juta untuk jaminan dan jasa
lainnya. Warsono atas permintaan anak buah Sukotjo yang dia sebut Pak
Murde, diminta mencari beberapa perusahaan.

Akhirnya dipilih empat perusahaan yaitu PT Bentina Agung, PT Digo
Mitra Slogan, PT Kolam Intan Prima, dan PT Pharma Kasih Sentosa.
Penawaran yang dilakukan empat perusahaan itupun dibuat Murde di
Bandung. Perusahaan pendamping hanya mengikuti proses hingga
penawaran, dengan sengaja tidak melengkapi dokumen agar tidak lolos.

Terungkap pula, ada dokumen perusahaan yang dipinjam tanpa
sepengetahuan pemiliknya, yaitu terjadi pada PT Pharma Kasih Sentosa
milik Parlin Saragih. Parlin yang dihadirkan sebagai saksi mengaku tak
tahu menahu jika perusahaannya digunakan sebagai perusahaan
pendamping.

Warsono akhirnya mengakui jika ia meminjam data perusahaan dari bekas
karyawan Parlin. “Memang di Kebon Sirih (pusatnya penyewaan dokmen
perusahaan), sangat mudah pinjam-meminjam perusahaan seperti ini,”
kata Warsono.

“Bahaya ini kalau ada orang seperti Saudara. Ini embrio dari perkara
ini,” kata hakim ketua Suhartoyo. (AMR)

Leave a Comment

Recent Posts

Ketika Selebritas Berkampanye di Media Sosial

Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More

10 years ago

I Stand on The Right Side: Perang Senyap Pita Dukungan Capres

Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More

10 years ago

KPU Sebenarnya Siap dengan Pemilu Serentak 2014

Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More

10 years ago

Jokowi Pengaruhi Angka Ambang Batas Parlemen

Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More

10 years ago

Bawaslu Rilis Peta Potensi Kerawanan

Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More

10 years ago

Strict Standards: Non-static method JLoader::import() should not be called statically in…

Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More

10 years ago