Terdakwa perkara korupsi proyek pengadaan dan pemasangan pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi tahun 2008, Neneng Sri Wahyuni, dituntut jaksa pada
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pidana penjara tujuh tahun dan
denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara selama enam bulan.
Tuntutan jaksa termasuk tinggi karena Neneng selalu berbelit-belit
dalam persidangan dan ditambah lagi pernah melarikan diri ke luar
negeri.
"Memohon kepada majelis hakim supaya menjatuhkan putusan kepada Neneng
Sri Wahyuni, dengan pidana penjara selama tujuh tahun, dikurangi masa
penahanan," kata Jaksa Guntur Ferry ketika membacakan surat tuntutan
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (5/2). Selain
itu, Neneng juga dituntut membayar uang pengganti kerugian negara
sebesar Rp 2,66 miliar. Jika tidak dibayar, maka hartanya akan disita,
dan jika hartanya tak mencukupi maka akan diganti dengan pidana
kurungan selama dua tahun.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tati Hadiyanti, Jaksa
Ahmad Burhanuddin merinci pertimbangan yang memberatkan tuntutan
Neneng yaitu terdakwa menikmati uang hasil korupsi, memberi keterangan
berbelit-belit, pernah melarikan diri ke luar negeri, dan tidak
mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. "Hal yang
meringankan hukuman adalah Neneng masih memiliki anak yang masih
balita, belum pernah dihukum, dan berlaku sopan selama persidangan,"
kata Ahmad.
Tuntutan jaksa mendasarkan pada dakwaan pertama, yaitu melanggar Pasal
2 Ayat 1 juncto pasal 18 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU
No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Neneng bersama-sama dengan M Nazaruddin, Marisi Matondang, Mindo
Rosalina Manulang, Arifin Ahmad, dan Timas Ginting dianggap telah
melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara sekitar Rp
2,72 miliar. Peran Neneng selaku Direktur Keuangan PT Anugeran
Nusantara adalah dengan mengintervensi pejabat pembuat komitmen di
Kemenakertrans agar memenangkan perusahaannya.
PT Anugerah Nusantara adalah perusahaan di bawah Grup Permai yang
dikendalikan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin,
yang juga suami Neneng. Namun, walaupun banyak saksi yang
mengungkapkan peran sentral Neneng di PT Anugerah Nusantara, di dalam
persidangan sebelumnya Neneng selalu mengatakan tak tahu menahu soal
proyek di perusahaan suaminya. Neneng mempersulit persidangan dengan
selalu mengatakan tidak tahu atau lupa dalam setiap menjawab
pertanyaan.
Dalam mengikuti lelang proyek, PT Anugerah Nusantara meminjam
perusahaan PT Alfindo Nuratama Perkasa, milik Arifin Ahmad. Proyek
pengadaan dan pemasangan PLTS itu bernilai Rp 8,918 miliar. Atas
persetujuan Nazaruddin, Neneng memberikan 50.000 dollar AS untuk Timas
Ginting lewat Saan Mustopa, untuk memenangkan PT Alfindo dalam lelang.
Timas juga memperoleh imbalan Rp 77 juta dan 2.000 dollar AS.
PT Alfindo akhirnya memenangkan lelang dan setelah diambil alih PT
Anugerah, proyek disubkontrakkan kepada PT Sundaya Indonesia. Dari
total nilai proyek Rp 8,918 miliar, yang diserhakan untuk mengerjakan
proyek hanya Rp 5,274 miliar. Neneng dianggap mengetahui soal
pemindahan lelang tersebut dan dialah yang biasa memerintahkan anak
buahnya mencairkan uang dari rekening atas nama PT Alfindo di bank
BRI.
Dalam sidang sebelumnya, terungkap bahwa PT Alfindo hanyalah
perusahaan spesialis alat tulis kantor. Direktur Keuangan PT Alfindo,
Arifin Ahmad, mengakui perusahaannya hanya dipinjam oleh PT Anugerah.
Arifin hanya mendapatkan imbalan Rp 40 juta dari peminjaman perusahaan
tersebut.
Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Ruwaidah Afiyati,
pernah dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan Neneng. Menurut
Ruwaidah, secara eksplisit, nama Neneng memang tidak tercantum dalam
sejumlah dokumen perusahaan di Grup Permai. Meski demikian, kata
Ruwaidah, kenyataannya, untuk pencairan uang selalu menggunakan
otoritas Neneng. "Secara formal, saya tidak melihat ada nama Neneng
tapi secara peran memang ada," kata Ruwaidah pada persidangan Selasa
(22/1).
Para pegawai di PT Anugerah Nusantara dalam kesaksian sebelumnya juga
menuturkan, mereka tidak bisa mencairkan uang jika tanpa persetujuan
Neneng. "Yang berperan menguasai keuangan PT Anugerah Nusantara,
termasuk rekening PT Alfindo, adalah terdakwa," ujar Ruwaidah. (AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment