Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, Achmad Sjarifuddin Alsah,
salah seorang yang dianggap ikut membidani modernisasi di Direktorat
Jenderal Pajak, pada Selasa (16/4), di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta, kembali menjalani sidang lanjutan. Kali ini
agendanya adalah mendengarkan pembelaan atau pledoi dari terdakwa atas
tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung.
Alsah memaparkan, dirinya telah berusaha menjaga integritas ketika
ikut terlibat dalam reformasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia
menegaskan, dirinya sudah lama mengabdikan diri untuk Ditjen Pajak dan
menjadi salah satu orang yang ikut membidani kelahiran Direktorat
Jenderal Pajak yang modern berbasis teknologi informasi.
Sepanjang karirnya selama 37 tahun, telah mendapat apresiasi dari
menteri keuangan karena modernisasi berbasis teknologi informasi di
bidang perpajakan telah sukses dan bahkan mampu meningkatkan
pendapatan pajak tiap tahunnya. Sistem informasi yang turut ia bangun
masih berjalan hingga kini, namun tiba-tiba dipersoalkan oleh
Kejaksaan.
“Saya sebenarna sedang menikmati masa pensiun. Pada Maret 2012 saya
mulai pensiun, kemudian pada Mei 2012 tiba-tiba dipanggil kejaksaan,”
kata Alsah. Alsah dipanggil untuk mempertanggungjawabkan soal
pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak pada tahun anggaran 2006
ketika saat itu menjabat Sekretaris Ditjen Pajak yang sekaligus
menjadi kuasa pengguna anggaran.
Pekan lalu, jaksa penuntut umum menuntut Alsah dengan pidana penjara
dua tahun enam bulan dan juga denda Rp 500 juta subsider kurungan
penjara enam bulan. Alsah dianggap melanggar Pasal 3 UU No 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 sebagaimana dalam dakwaan subsider.
Proyek teknologi informasi yang nilainya Rp 35,8 miliar ini juga
menyeret terdakwa lain yang sudah divonis yaitu Ketua Panitia Lelang
Pengadaan, Bahar; Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pulung Sukarno;
Direktur PT Berca Hardayaperkasa, Liem Wendra Halingkar; bekas
Direktur IT Ditjen Pajak, Riza Nurkarim; dan Direktur Government
Technical Support PT Berca Hardayaperkasa, Michael Surya Gunawan.
Menurut Alsah, seharusnya ia tak diminta bertanggung jawb dalam
pengadaan barang dan jasa tersebut. Ia telah barusaha menjaga
integritas ketika menjabat menjadi KPA. “Namun justru saya dianggap
tidak mencampuri dalam proses pengadaan barang dan jasa. Padahal KPA
tak punya wewenang atas pengadaan barang dan jasa,” kata Alsah.
Sebenarnya sudah jelas terdapat pejabat lain yang bertugas meneliti
dan menguji kebenaran berbagai dokumen proyek. “Ini ironis, saya
bermaksud tak mencampuri urusan malah dijadikan tersangka,” kata
Alsah.
Alsah pernah meminta penangguhan penahanan saja tidak disetujui.
“Padahal saya tak mungkin mengulangi perbuatan sebagai KPA karena saya
sudah pensiun,” kata Alsah sambil terisak.
Alsah bersikeras, ia tak terlibat dalam penentuan proyek baik di awal
maupun di akhir proses. Ia juga menegaskan tak punya kesengajaan dan
motif, juga tak pernah membujuk panitia agar menuruti arahannya. “Tak
terbukti jika saya telah bekerja sama dan punya niat untuk bersepakat
baik dari awal hingga akhir pengadaan,” papar Alsah.
Menurut Alsah, hal itu juga dipertegas oleh keterangan Ketua Panitia
Pengadaan, Bahar, dan Pejabat Pembuat Komitmen, Pulung Soekarno,
yang menyatakan ia tak pernah intervensi panitia. “Panitia tak pernah
mendapat arahan dari saya untuk memenangkan salah satu vendor, saya
juga tak pernah meminta proses pembayaran, juga tak pernah menyuruh
orang lain untuk mempengaruhi,” kata Alsah.
Karena itu, ia memohon kepada majelis hakim agar menyatakan dirinya
tidak bersalah. Juga memohon agar majelis hakim membebaskan dirinya
dari seluruh dakwaan serta mengembalikan harkat dan martabatnya.
Jaksa Penuntut Umum dalam surat tuntutannya memaparkan, terdakwa
selaku orang yang bertanggung jawab dalam anggaran tak memonitor
proses lelang hingga pengadaan. Hingga pekerjaan dilaksanakan tak
pernah monitor.
Penawaran PT Berca yang memenangkan lelang dianggap tak sesuai
spesifikasi teknis. Saat serah terima dari Berca ke Ditjen Pajak,
perangkat yang diserahkan yaitu komputer dan perlengkapan Disaster
Recovery Center (DRC) tak dicek dan juga tak dicoba lebih dulu.
DRC adalah seperangkat server yang digunakan mem-backup data di server
pusat yang diletakkan di Datacenter pusat. Tujuannya untuk
meminimalkan dampak jika terjadi gangguan di datacenter pusat jika
terjadi gangguan atau bencana.
Menurut jaksa, sejak DRC dipasang tak pernah dicoba fungsinya sebagai
backup datacenter maupun sebagai server pasangan atau redundant. Jaksa
menyebut peralatan tersebut tak kompatibel dengan sistem lama dan tak
memenuhi sarat teknis.
Kasus ini bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa terjadi
penyimpangan pengadaan Sistem Informasi Perpajakan. Pada proses
pelaksanaannya, terjadi perubahan spesifikasi teknis yang tidak sesuai
prosedur. Sehingga, terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 14
miliar.
(AMR)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment