Sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada Kamis (2/5),
mengagendakan pemeriksaan para terdakwa perkara dugaan korupsi
pengadaan alat laboratorium di Universitas Negeri Jakarta. Kasus ini
erat kaitannya dengan kiprah Angelina Sondakh bersama Grup Permai
dalam penggiringan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
untuk 16 universitas.
Namun, sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu,
kesulitan mengungkap rangkaian peranan Grup Permai yang aktif
menggiring proyek dengan keterlibatan para terdakwa. Dua terdakwa yang
diperiksa yaitu Fakhruddin Arbah, Pembantu Rektor III UNJ yang saat
itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen dan terdakwa Tri Mulyono, dosen
Fakultas Teknik yang saat itu menjadi Ketua Panitia Pengadaan Lelang.
Dari 11 aliran dana dari Grup Permai yang masuk ke terdakwa dengan
nilai ratusan juta rupiah, para terdakwa hanya mengakui penerimaan
dana masing-masing Rp 20 juta. Itupun, kata Fakhruddin dan Tri
Mulyono, hanyalah dana tunjangan hari raya.
“Ada uang THR Rp 20 juta dari Pak Suryadi (Pembantu Rektor II UNJ),”
kata Fakhruddin menjawab pertanyaan Pangeran Napitupulu. Ia sadar
bahwa uang THR itu begitu tinggi karena biasanya hanya berkisar Rp 1
juta. Namun ia berfikir itu kemungkinan terkait dengan jabatannya,
entah sebagai PR III ataupun PPK.
“Saya tidak tahu itu THR apa, karena pemberian PR II ya saya treima,”
kata Fakhruddin. Di luar THR, Fakhruddin tak mengakui penerimaan lain
seperti dalam dakwaan jaksa.
Hal yang sama juga disampaikan Tri Mulyono dalam pemeriksaan terpisah.
Ia hanya menerima Rp 20 juta dari Suryadi. Ia menyatakan keheranannya
mengapa banyak aliran dana yang disampaikan jaksa penuntut umum
melalui dirinya.
Dalam sidang sebelumnya terungkap, untuk memuluskan perusahaan
memenangkan tender di UNJ, Melia Rike dari PT Anugerah Nusantara (Grup
Permain) memberikan sejumlah uang yang disebut uang support atau uang
pengamanan. Jaksa penuntut umum mencatat ada 11 aliran dana yang
berlangsung dari Februari 2010 hingga Desember 2010.
Namun, aliran dana tersebut tak diakui Tri Mulyono. Hanya saja, Tri
Mulyono mengakui jika penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) hanya ia
lakukan sendiri tanpa melalui rapat-rapat panitia. Fakhruddin juga
menegaskan, ia tak terlibat ikut dalam rapat-rapat panitia.
“Apa Ketua Panitia pernah menghadap ke Saudara untuk lapor panitia
sudah survei ke lapangan terkait peralatan laboratorium?” tanya
Pangeran Napitupulu yang dijawab tidak oleh Fakhruddin.
“Saya tidak melakukan apa-apa, hanya menunggu laporan sudah
dilaksanakan,” lanjut Fakhruddin. HPS sudah ada di meja Fakhruddin dan
sudah selesai ditanda tangani semua. “Di situ saya hanya mengetahui
dan menyetujui. Saya tanya apakah sudah sesuai dengan prosedur,
dijawab sudah,” kata Fakhruddin.
“Dosen itu memang sering pake kacamata kuda, lurus ke depan
Hanya tanya sudah beres atau belum sudah cukup. Tahu kenapa kuda pakai
kacamata?” sindir Pangeran kepada Fakhruddin.
“Supaya tidak lihat yang lain-lain,” jawab Fakhruddin yang disambut
tawa pengunjung sidang.
Baik Fakhruddin maupun Tri Mulyono juga mengaku tak pernah bertemu
dengan pemenang lelang sebelumnya yaitu PT Marel Mandiri. Mereka juga
tak tahu jika pekerjaan tender itu akhirnya bukan dikerjakan oleh PT
Marel melainkan oleh PT Anugerah Nusantara.
Dalam sidang sebelumnya, saksi dari para anggota panitia juga mengakui
tak pernah diajak membuat HPS dan juga tak pernah melakukan survei
untuk pembuatan HPS. Anggota panitia juga mengaku tak pernah
mengadakan rapat dan mengaku sibuk dengan kegiatan di luar kepanitian
pengadaan peralatan laboratorium.
Jaksa penuntut umum mendakwa Tri Mulyono dan Fakhruddin terlibat
pembicaraan proyek sejak awal dengan orang-orang dari Grup Permai yang
dikendalikan M Nazaruddin. Terdakwa Tri Mulyono juga dianggap
menetapkan sendiri para pemenenag lelang yang disetujui Fakhruddin.
Walaupun demikian, baik Fakhruddin maupun Tri Mulyono sama-sama
menyesali perbutan mereka. “Saya menyesal dengan kemampuan yang saya
miliki, akhirnya kejadiannya seperti ini,” kata Fakhruddin.
Aliran dana
Beberapa aliran dana lewat Tri Mulyono yang dimaksud dalam dakwaan
yaitu pada 1 Februari 2010 Rp 400 juta diantar kurir Riki dan diterima
Tara untuk Tri Mulyono. Tanggal 5 Juli 2010 Rp 100 juta dibawa Gerhana
dan Melia Rike (keduanya staf Anugerah Nusantara) diterima Tri
mulyono, Suryadi, dan Dedi di ruang kerja Suryadi di Gedung Rektorat
lantai 1 UNJ.
Kemudian 6 Juli 2010 uang untuk sunatan Rp 3 juta diterima Tri
Mulyono. Tanggal 25 Agustus 2010 Rp 10 juta kembali diberikan untuk
Tri Mulyono. Tanggal 25 Agustus 2010 Rp 150 juta diantar Melia Rike
dan Chika ke beberapa alamat termasuk untuk tri Mulyono Rp 75 juta.
Pada 2 September 2010, Rp 30 juta diserahkan ke Tri Mulyono, ditambah
lagi tanggal 21 Oktober 2010 Rp 30 juta. Tanggal 22 November 2010 Rp
15 juta untuk pencairan termin 1 diserahkan ke Tri Mulyono, ditambah
pada 25 November 2010 Rp 10 juta untuk biaya meeting. Tanggal 3
Desember 2010 diserhakan Rp 15 juta oleh Melia Rike dan M Irwansyah ke
Tri Mulyono dan terakhir pada 15 Desember 2010 diserahkan lagi Rp 50
juta. (Amir Sodikin)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment