Tim pencari fakta dari internal TNI tak bisa jalan sendiri untuk
membongkar peristiwa penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Jika hanya mengandalkan tim internal TNI, justru dikhawatirkan
kepercayaan publik terhadap TNI tak bisa dipulihkan akibat opini
publik yang telah berkembang luas terkait keterlibatan TNI dalam
penyerangan tersebut. Karena itu, diperlukan tim gabungan pencari
fakta yang sekaligus akan memulihkan kepercayaan publik terhadap
kredibilitas dan integritas TNI.
Tim gabungan pencari fakta harus dibentuk untuk membantu TNI lepas
dari segala opini buruk yang telanjur berkembang terkait kasus
penyerbuan di Lapas Cebongan, Sleman. Jika tim gabungan tak dibentuk,
dikhawatirkan hasil tim investigasi internal bentukan TNI hanya
berujung pada kecurigaan publik. Hal itu terjadi karena tim internal
tak memiliki mekanisme pengawasan yang bisa dipercaya oleh publik.
Salah satu unsur yang perlu dimasukkan adalah anggota DPR yang akan
menjalankan fungsi pengawasan terhadap kerja investigasi, juga Komnas
HAM atau institusi lain jika diperlukan. Demikian yang dipaparkan
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis
Indonesia Rizal Darma Putra dan Anggota Komisi I DPR Nuning Kertopati,
di Jakarta, Sabtu (30/3).
Rizal menekankan, perlunya dibentuk tim gabungan yang terdiri dari
TNI, kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi Lembaga
Pemasyarakatan, Komnas HAM, serta DPR yang melibatkan Komisi I (bidang
pertahanan, luar negeri, dan informasi) dan Komisi III (bidang hukum
dan perundang-undangan, HAM, dan keamanan) DPR. “DPR perlu dilibatkan
karena untuk menjaga akuntabilitas dan mengawal proses investigasi,”
kata Rizal.
Pentingnya dibentuk tim gabungan, menurut Rizal, agar masing-masing
institusi bisa mendapatkan akses dengan mudah bila diperlukan
pemeriksaan. Misalnya, jika dirasa perlu untuk memeriksa gudang
senjata, maka tinggal mengandalkan akses salah satu anggota tim yang
bisa dengan mudah mengakses gudang senjata.
Hal seperti itu sulit dilakukan jika tim pencari fakta bergerak
sendiri-sendiri. Misalnya seperti yang dialami Komnas HAM yang
bergerak parsial. “Kalau bergerak sendiri nanti tak banyak gunanya.
Jika tim gabungan dibentuk, masing-masing dari anggota tim harus
memberikan akses terbuka ke masing-masing institusi tempat anggota tim
berada,” jelas Rizal.
Jika TNI tetap akan jalan dengan timnya, silakan saja namun tim
gabungan tetap menjadi agenda penting untuk dibentuk. “Jika tidak
dibentuk tim gabungan, nuansanya justru akan mendiskreditkan TNI
karena sekarang ada opini yang berkembang bahwa pelakunya Kopassus.
Padahal kan belum tentu demikian,” kata Rizal.
Jika TNI melakukan penyidikan sendiri dan hasilnya tidak memuaskan
masyarakat, justru nanti yang kerepotan malah TNI sendiri. “Walaupun
hasil tim investigasi internal itu diumumkan terbuka, masyarakat akan
tetap tak percaya karena opininya sudah terbentuk bahwa kasus ini
merupakan balas dendam,” begitu argumen Rizal.
Lalu, apa pentingnya melibatkan DPR dalam anggota tim tersebut?
Menurut Rizal, keterlibatan DPR diperlukan karena akan menjadi
menjalankan fungsi pengawasan sampai sejauh mana kerja investigasi.
“Masyarakat juga bisa meminta pertanggungjawaban ke Komisi I dan
Komisi III DPR melalui mekanisme public hearing,” kata Rizal.
Hasil investigasi tidak hanya diumukan ke publik misalnya melalui TNI
atau pemerintah, tapi bisa juga disampaikan di public hearing di DPR.
Di public hearing itulah akan diuji akuntabilitas kerja tim gabungan
dan bisa dinilai sejauh mana obyektivitasnya.
Anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan
informasi, Nuning Kertopati menyatakan, tim investigasi harus bisa
bekerja obyektif, koordinatif dengan berbagai institusi yang
berkepentingan, dan kohesif. “Langkah yang bijak adalah tim
investigasi Polri dan TNI harus disinergikan bersama dengan pihak luar
selaku pemantau, bisa Komnas HAM atau lainnya,” kata Nuning.
Untuk keterlibatan DPR, Nuning sependapat dengan usulan Rizal agar
dilibatkan. “Untuk DPR saya rasa dalam fungsi pengawasan seyogyanya
dilibatkan, kami akan bicarakan secara internal,” kata Nuning.
Ditanya apakah dalam koordinasi dengan instansi lain TNI mau terbuka,
Nuning yakin TNI akan bisa terbuka. “Saya rasa TNI seharusnya sudah
mulai berfikir untuk mengedepankan peran penerangannya dalam kasus
ini. Saya yakin TNI akan koordinatif demi kepentingan bangsa dan
negara,” harap Nuning.
Semua instansi yang sudah menurunkan tim investigasinya, seperti TNI
dan Polri serta Komnas HAM, diharapakan bisa saling terbuka dan fair.
Dengan kemauan untuk membongkar kasus ini hingga tuntas, diharapkan
tak ada ego salah satu instansi. “Siapapun nanti pelakunya harus
ditindak tegas sesuai hukum positif yang berlaku,” kata Nuning. (Amir
Sodikin)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment