“Masih ada keadilan ternyata. Gusti Allah ora sare,” teriak seorang
pengunjung. “Hidup hakim,” pekik pengunjung lainnya. Vonis bebas ini
langsung disambut tangis haru dari anggota keluarganya dan tepuk
tangan gembira dari kolega dan rekan Hotasi yang hadir.
Istri terdakwa Hotasi Nababan, Evelin Hutapea, tampak sesenggukan tak
bisa menahan tangis bahagia. Anggota keluarga lain saling berpelukan.
Usai sidang, satu per satu keluarga dan kolega menyalami dan mencium
pipi Hotasi sebagai ucapan selamat.
Siang itu, Selasa 19 Februari 2013, sejarah di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta, telah tercipta. Untuk pertama kalinya, sejak
pengadilan tersebut berdiri tahun 2004, akhirnya memutuskan vonis
bebas juga terhadap terdakwa kasus korupsi.
Adalah Hotasi DP Nababan, mantan Direktur PT Merpati Nusantara
Airlines (MNA), yang divonis bebas oleh majelis hakim yang diketuai
Pangeran Napitupulu dengan anggotanya Alexander Marwata dan Hendra
Yosfin. Hendra Yosfin memang mengajukan dissenting opinion (beda
pendapat) dan menyatakan Hotasi bersalah, namun vonis hakim didasarkan
pada saura terbanyak.
“Menyatakan terdakwa Hotasi DP Nababan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan
primer dan subsider. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan
tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta
harkat dan martabatnya,” kata Napitupulu.
Sidang sempat tertunda hingga dua jam lebih sehingga menimbulkan
dugaan alotnya pembahasan materi vonis oleh anggota majelis. Sejak
pagi, Pengadilan Tipikor sudah dipenuhi dengan para kolega Hotasi dari
Merpati, juga anggota keluarga, hingga rekan-rekan Hotasi dari alumni
Institut Teknologi Bandung.
Pasal yang didakwakan kepada Hotasi dan dinyatakan semuanya tidak
terbukti adalah dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
sebagaimana telah diubah dalam UU No 20 Tahun 2001, dan dakwaan
subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor junctoPasal 55
ayat (1) ke-1 KUHPidana. Jaksa sebelumnya menuntut Hotasi dengan
pidana penjara empat tahun dan denda Rp 500 juta subsider kurungan
enam bulan.
Usai sidang, Hotasi mengatakan, keadilan masih ada di negeri ini.
Fakta persidangan dan vonis bebas majelis hakim, konsisten dengan
pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi yang pernah menyatakan perkara
Hotasi tak layak masuk ranah korupsi. Sebagai pengingat, kasus Hotasi
ini dibawa ke Pengadilan Tipikor oleh Kejaksaan Agung.
“Membebaskan kasus korupsi itu sebenarnya berat bagi majelis hakim.
Tapi, majelis hakim telah menguraikan fakta dengan jelas dan nyata,”
katanya. Mantan aktivis proreformasi ini mengatakan, ia percaya
pemberantasan korupsi harusnya dimulai dengan cara-cara yang benar.
Karena itu, ke depannya sebelum jaksa membawa perkara ke persidangan,
harus benar-benar mengkajinya dengan cermat dan benar.
Awal perkara
Perkara ini masih ke Pengadilan Tipikor karena jaksa dari Kejaksaan
Agung menganggap ada korupsi yang merugikan negara dalam praktik
penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 oleh PT MNA.
Pesawat disewa melalui perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone
Aircraft Group (TALG). TALG sendiri menyewa pesawat dari perusahaan
East Dover.
Pokok masalahnya adalah TALG akhirnya tak menepati janjinya untuk
mengirimkan kedua pesawat, padahal PT MNA sudah menyetorkan deposit
dana atau security deposit sebesar 1 juta dollar AS kepada TALG
melalui kantor pengacara Hume Associates. Deposit dana yang seharusnya
bersifat bisa dikembalikan, ternyata tak dikembalikan oleh TALG.
Dana 1 juta dollar AS itulah yang dianggap jaksa sebagai kerugian
negara. Kejaksaan akhirnya menyeret Hotasi Nababan dan Tony Sudjiarto
selaku mantan General Manager PT MNA dalam perkara ini.
Hingga kini, PT MNA masih mengupayakan security deposit tersebut agar
kembali dan dalam buku keuangan dicatat sebagai piutang yang harus
dikejar. PT MNA juga sudah menggugat TALG di pengadilan Washington DC,
Amerika Serikat, yang dimenangkan oleh PT MNA. Namun, kasus ini tetap
digulirkan ke pengadilan oleh Kejaksaan Agung.
Keputusan bisnis vs risiko bisnis
Pangeran Napitupulu dalam amar putusannya menyebutkan, Hotasi masuk ke
PT MNA di tengah kondisi keuangan yang buruk. Untuk memperbaiki
kinerja perusahaan, tak ada pilihan bagi PT MNA kecuali dengan
menambah pesawat. Maka, pada Rapat Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP)
2006, disebutkan perlu adanya penambahan pesawat meskipun jenis
pesawat tak eksplisit disebutkan.
Namun, terdapat klausul dalam RKAP yang menyebutkan apabila direksi
menganggap perlu maka bisa dilakukan menyewa pesawat tertentu. Karena
itu, keputusan untuk menyewa pesawat Boeing tipe 737 seri 400 dan seri
500 tersebut menurut hakim tak melanggar hukum.
Majelis hakim juga mencatat, kecepatan dan ketetapatan dalam mengambil
keputusan memang perlu diambil jajaran direksi di tengah persaingan
yang ketat. Risiko bisnis tidak bisa ditiadakan sama sekali, yang
diperlukan adalah bagaimana memitigasi risiko bisnis tersebut.
Manajemen PT MNA berusaha memilih mengambil kesempatan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan dan majelis hakim menganggapnya itulah
keputusan bisnis. Soal security deposit yang tak bisa ditarik lagi
oleh PT MNA, majelis hakim memakluminya sebagai risiko bisnis.
“Manajemen telah memitigasi risiko bisnis tetapi ketika TALG tak punya
itikad baik, itu bukan di bawah kendali PT MNA,” kata Pangeran
Napitupulu.
Akibat kegagalan TALG yang tak bisa mengirim pesawat dan tak juga
mengembalikan security deposit, PT MNA pun telah mengajukan kasus itu
ke pengadilan di Washington DC, Amerika Serikat. Hasilnya, TALG
dinyatakan telah wanprestasi dan mengharuskan TALG mengembalikan
security deposit beserta bunganya.
Dalam mengambil keputusan bisnis, berdasarkan undang-undang Perseroan
Terbatas, manajemen PT MNA dianggap telah memenuhi kriteria dalam
memiliki informasi yang dianggapnya benar, tidak memiliki kepentingan,
memiliki itikad baik, dan memiliki dasar rasional.
Majelis hakim berkeyakinan, unsur melawan hukum dalam dakwaan primer
tidak terbukti.
“Majelis hakim berpendapat, tindakan Hotasi dengan menyewa pesawat
tersebut sudah dilakukan dengan hati-hati, beritikad baik, dan demi
kepentingan perusahaan. Dengan demikian, unsur melawan hukum yang
dikatakan tidak hati-hati dan tidak berdasarkan prinsip good
governance, tidak terbukti,” kata Napitupulu.
Dakwaan subsider juga tak bisa dibuktikan. Salah satu
pertimbangannya, PT MNA memiliki itikad dengan masih mengupayakan
untuk mengembalikan security deposit termasuk memidanakan TALG di
Amerika Serikat. “Majelis hakim tidak melihat adanya niat dari
terdakwa untuk memperkaya TALG dengan security deposit sebesar 1 juta
dollar AS. Dengan demikian, unsur menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau korporasi, tidak terbukti secara hukum. Dengan demikian
dakwaan subsider haruslah dinyatakan tidak terbukti,” kata Napitupulu.
Dengan tak terbuktinya dakwaan primer dan dakwaan subsider, maka
terdakwa Hotasi Nababan harus dibebaskan dari seluruh dakwaan.
“Majelis hakim juga menyatakan sepakat dengan nota pembelaan atau
pledoi yang dibuat Hotasi dan penasehat hukumnya,” kata Napitupulu.
Lulusan perguruan tinggi terbaik
Hotasi adalah pria yang telah mengenyam pendidikan terbaik di
Indonesia dan juga terbaik di dunia. Ia adalah lulusan Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan juga lulusan Massachuset Institute of
Technology (MIT). Rekan-rekan Hotasi sering mengatakan, sebagai
lulusan MIT, untuk mencari uang sebesar 1 juta dollar AS, sebagaimana
yang dianggap jaksa sebagai nilai kerugian negara, bagi Hotasi
sangatlah mudah. Karena itu, mengkorupsi “hanya” 1 juta dollar AS,
bagi Hotasi dianggap tidak masuk akal.
Hotasi sempat membuat pledoi pribadi setebal 38 halaman, ditambah
pledoi yang dibuat pengacaranya. Ia memulai pembelaannya dengan
pernyataan berat. “Membuat Pledoi atas perkara korupsi adalah
pekerjaan yang sulit karena kita sendiri dan masyarakat sedang marah
kepada korupsi,” katanya.
Ia tak habis pikir, mengapa kasus yang menimpanya dipaksakan dibawa ke
pengadilan pidana oleh kejaksaan. Padahal, kata Hotasi, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, dan Badan
Pemeriksaan Keuangan, telah menyimpulkan tak ada unsur perbuatan
korupsi dalam kasusnya.
Merpati berusaha meremajakan armadanya dengan menyewa sejumlah pesawat
tipe Boeing 737-400 dan Boeing 737-500. Kontrak sewa pesawat dengan
pihak lain umumnya berjalan lancar. Kalaupun ada yang gagal, security
deposit dikembalikan kepada Merpati. Kata Hotasi, hanya satu kontrak
yang gagal dan security deposit tidak dikembalikan, yaitu kontrak
dengan TALG. Perkara inilah yang kemudian menyeret Hotasi dan direksi
Merpati lainnya menjadi tersangka kasus korupsi.
Perkara sederhana
Menurut Hotasi, sebenarnya perkara ini cukup sederhana. Bermula dari
pelanggaran perjanjian bisnis antara Merpati sebagai BUMN dengan
perusahaan Amerika Serikat, Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG)
dalam rencana sewa pesawat tahun 2006. Merpati kemudian menggugat TALG
di pengadilan Distrik Columbia, Washington DC.
Pengadilan 8 Juli 2007 telah memenangkan gugatan Hotasi dan
memerintahkan TALG mengembalikan uang deposit sebesar 1 juta dollar AS
beserta bunganya. “Namun pemilik TALG berusaha menghindari
pengembalian deposit dan berusaha mengulur waktu agar masa kadaluarsa
perkara berakhir,” kata Hotasi.
Sebelumnya, Merpati menyetujui menyetor deposit karena ketika
dilakukan pengecekan, TALG memiliki keberadaan meyakinkan. Kantornya
berada di area elite Washington DC. Demikian juga dengan Hume
Associates, yang menampung dana deposit, merupakan kantor hukum yang
meyakinkan.
Pemilik TALG, Alan Messner, adalah mantan Vice President Investment
dari BCI Aircraft Leasing di Chicago, sebuah perusahaan leasing besar.
Mitra Messner adalah Jon Cooper, profesor hukum yang memiliki lebih 30
tahun pengalaman sebagai pakar hukum lingkungan, pengacara, akademisi,
dan penasehat pemerintah AS dan World Bank.
TALG juga memberikan surat pernyataan Security Deposit bersifat bisa
dikembalikan lagi (refundable) jika TALG gagal menyediakan pesawat.
Uang deposit diamankan di pihak ketiga yaitu firma hukum Hume
Associates sesuai dengan hukum Safekeeping Property di Amerika.
TALG sebenarnya hanya broker penyewaan pesawat, namun dalam
persidangan terungkap bahwa peran broker dalam sewa pesawat sudah
menjadi kelaziman bisnis. Pemilik asli pesawat yang disewakan adalah
East Dover. Untuk meyakinkan, TALG telah melengkapi diri dengan
perjanjian antara TALG dan East Dover.
Setelah mengirim deposit, Tony Sudjiarto, waktu itu General Manager PT
MNA, berangkat ke Amerika Serikat dan melakukan inspeksi atas Pesawat
Boeing 737-500 di Victorville, Amerika Serikat. “Hasil inspeksi
menunjukkan pesawat dalam keadaan prima dan siap dikirim. Saat itu
kami yakin TALG akan memenuhi komitmen penyerahan,” kata Hotasi.
Namun setelah ditunggu tiga pekan dari tanggal penyerahan 5 Januari
2007, TALG tidak dapat menyerahkan pesawat itu. Mereka mengirim email
menjelaskan alasan penundaan itu karena harga sewa harus dinaikkan.
Merpati akhirnya membatalkan kontrak dan langsung meminta pengembalian
dana deposit. Namun, permintaan tak direspons positif. Maka, Maret
2007, Merpati mengajukan gugatan kepada TALG. Pada 8 Juli 2007 Merpati
akhirnya memenangkan gugatan.
Hasil investigasi Merpati menunjukkan bahwa beberapa hari setelah
menerima transfer dari Merpati, Jon Cooper telah memindahkan deposit
Merpati ke rekening pribadinya sebesar 810.000 dollar dan membagi
210.000 dollar ke Alan Messner. Pengacara Merpati langsung mengejar
aset pemilik TALG dan upaya pengejaran dilanjutkan dua periode direksi
selanjutnya.
Bahkan, Mei 2008 Merpati meminta bantuan Kejaksaan sebagai pengacara
negara untuk mengejar uang itu. Namun pengejaran tidak dilanjutkan
oleh manajemen Merpati tahun 2010 karena alasan biaya.
Menurut Hotasi, sebenarnya Kedutaan Besar RI di Washington selalu
membantu proses pengejaran ini. Berdasarkan informasi Duta Besar, pada
Desember 2012, Jon Cooper sedang menjalani sidang pidana berat di
pengadilan Washington DC yang telah dimulai sejak Mei 2012. KBRI
selalu berkoordinasi dengan pihak Department of Justice (Departemen
Kehakiman) AS untuk memonitor perkembangan sidang.
Ironi pengadilan
Hingga kini, status uang deposit itu di pembukuan Merpati merupakan
piutang yang harus ditagih ke TALG. Sehingga, jika kasus ini diputus
oleh hakim sebagai korupsi, maka bisa menjadi alasan bagi TALG untuk
mengabaikan perintah pengadilan.
Hotasi merasakan ironi bagi penegakan hukum di Indonesia dan di
Amerika. Di Amerika, pengadilan di sana telah menyidangkan warganya
sendiri yang telah menggelaplan dana deposit demi tegaknya hukum
bisnis yang berlaku. Di Indonesia, tempat BUMN kehilangan uang negara,
justru menyidangkan perkara perdata ini ke ranah pidana korupsi.
Jika deposit Merpati itu dianggap uang negara, kejaksaan sebagai
pengacara negara seharusnya wajib berupaya keras mengejar pengembalian
uang dari kedua orang itu. Kejaksaan dapat bekerja sama dengan
Interpol dan KBRI. “Namun tampaknya Kejaksaan lebih mudah mempidanakan
saya dan Pak Tony sebagai sumber masalah yang terjadi daripada bekerja
keras mengejar uang itu,” kata Hotasi.
Jika Kejaksaan tidak berbuat apa-apa, dan keputusan pengadilan AS
melepaskan Jon Cooper, maka di saat itulah kerugian negara telah
terjadi. “Jika kami diputuskan bersalah akibat kelalaian yang
disengaja, maka mereka dapat menggunakan pidana korupsi itu sebagai
hal yang meringankan Jon Cooper,” papar Hotasi.
Hotasi merasa menjadi korban kejahatan kedua warga negara Amerika itu,
namun dijadikan pesakitan oleh kejaksaan kami sendiri. Sementara,
kejaksaan Amerika mempidanakan kedua orang itu. Sudah kehilangan uang,
kemudian dipermalukan sebagai terdakwa korupsi, sedang kedua warga
negara Amerika berpeluang melenggang bebas membuawa uang itu.
“Kami, saya, Tony Sudjiarto, rekan mantan Direksi Merpati lain, dan
Merpati sendiri adalah korban kejahatan orang lain. Sangat sederhana,”
kata Hotasi.
Dengan perkara ini, seandainya ia divonis bersalah, kata Hotasi, bisa
menjadi preseden buruk bagi pengambilan keputusan bisnis direksi BUMN
karena setiap keputusan direksi yang memiliki risiko bisni di masa
lalu dan hari ini dengan mudah bisa dipidanakan, terlepas apakah dia
telah bekerja bersih dan jujur untuk BUMN.
“(Jika saya divonis bersalah) Tidak akan ada satupun Direksi BUMN
sekarang yang akan pensiun tenang. Selalu mungkin datang surat
panggilan beramplop coklat berisi pemanggilan atas keputusan yang
dibuat hari ini. Atasan atau kolega belum tentu akan membela, karena
sudah lupa,” kata Hotasi. (Amir Sodikin)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment