Salah satu perubahan krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) adalah terkait pembentukan lembaga baru yaitu
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) atau sebelumnya sering disebut Hakim
Komisaris. Para pihak yang berkepentingan, seperti Polri, dan juga
beberapa ahli hukum, ternyata tak sependapat dengan kewenangan HPP.
Hakim pemeriksa pendahuluan akan memiliki kewenangan diantaranya
menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyadapan, sah atau tidaknya penghentikan penyidikan dan penghentian
penuntutan, sah tidaknya perolehan alat bukti, ganti rugi karena salah
penangkapan, penahanan, penyitaan, untuk pemohon, layak tidaknya
penanganan perkara oleh penyidik, layak tidaknya perkara yang telah
dilakukan gelar perkara.
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti yang juga Ketua Tim
Perumus RUU KUHAP, Prof Andi Hamzah, mengatakan pada prinsipnya hakim
pemeriksa pendahuluan ini sama dengan hakim praperadilan sekarang.
Wewenang ditambah dengan perpanjangan penahanan, izin penggeledahan,
penyitaan, izin penyadapan.
"Hal ini bertujuan mengurangi beban hakim pengadilan negeri, sehingga
bisa konsentrasi pada persidangan perkara perdata, pidana, dan
seterusnya," kata Andi. Seseorang yang tak terima atas penangkapannya,
misalnya, bisa mengadukan hal tersebut ke HPP.
Paparan tersebut disampaikan Andi dalam Simposium Nasional Masyarakat
Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, di Makassar. Simposium
berlangsung dari Senin (18/3) hingga Rabu (20/3).
RUU KUHAP memang memiliki semangat untuk memperketat penahanan.
Menurut Andi, karena Indonesia sudah meratifikasi Interational
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), maka penahanan yang
diperketat dalam ICCPR itu harus diimplementasilkan ke dalam KUHAP.
Pasal 9 ICCPR mewajibkan apabila seseorang ditangkap harus segera
dibawa secara fisik ke hakim untuk ditahan. "Jadi, pada prinsipnya
hakimlah yang menahan orang karena bersifat merampas kemerdekaan,"
papar Andi.
Dalam Rancangan KUHAP, apabila seseorang ditangkap karena diduga
keras telah melakukan delik, maka penyidik hanya boleh menahan selama
lima hari yang dapat diperpanjang penuntut umum selama lima hari
berikutnya. "Sesudah itu harus tersangka dibawa secara fisik ke hakim
pemeriksa pendahuluan untuk dilakukan penahanan," kata Andi.
Tidak sependapat
Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Irjend Pol Prof Iza
Fadri, menyatakan keberatannya terhadap HPP ini. HPP yang memiliki
banyak kewenangan ini justru diragukan efektivitasnya.
Wewenang yang begitu besar dikhawatirkan berpotensi menimbulkan
masalah dan penyimpangan. Soalnya, putusan hakim pemeriksa pendahuluan
tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi, sementara pada
putusan hakim praperadilan dimungkinkan adanya banding atau kasasi.
"Putusan hakim pemeriksa pendahuluan ini bersifat final dan mengikat,
sementara putusan hakim praperadilan itu masih dapat diuji. Tak ada
evaluasi terhadap hasil keputusan, membuatnya cenderung bahaya," kata
Iza. Menanggapi kewenanan yang tinggi tersebut, Polri meragukan
efektivitas konsep hakim pemeriksa pendahuluan ini.
Belum lagi biaya membangun sistem dan struktur baru yang pasti mahal.
"Kemudian kita juga membutuhkan hakim pemeriksa pendahuluan setingkat
Ketua Pengadilan Negeri sebanyak 1.000 orang dari golongan IIIC, itu
pasti sulit," kata Iza.
Luasnya wilayah Indonesia dinilai akan menyulitkan pelaksanaan teknis
dan manajemen peradilan akan sulit terlaksana. Bagi Polri, lembaga
praperadilan saat ini dirasakan masih efektif, hanya perlu dilakukan
perluasan kewenangan. Polri dan Kejaksaan juga bisa meningkatkan
mekanisme pengawasan internal dan jika berhasil maka hakim pemeriksa
pendahuluan tak diperlukan lagi.
"Daripada membuat hakim pemeriksa pendahuuan, akan lebih efektif jika
menerapkan perluasan kewenangan lembaga praperadilan yang telah ada,"
kata Iza. Di negara asalnya, yaitu Belanda, hakim komisaris ini
dianggap tidak efektif dan ditinggalkan.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, pembahasan RUU KUHAP
harus dikawal dan harus menjadi perhatian kita bersama. Soal HPP,
Eddy juga menyatakan ketidaksetujuannya karena kewenangannya yang
begitu luas.
"Saya tidak setuju adanya lembaga baru yaitu hakim pemeriksa
pendahuluan. Kinerja aparat hukum akan terhambat dengan lembaga baru
ini karena sedikit-sedikit tindakah hukum akan digugat," katanya.
Bisa dibayangkan, misalnya jika tersangka keberatan dengan penyitaan
aset, atau keberatan dengan teknik penyadapan, dengan mudah dia bisa
protes dan menggugat ke hakim pemeriksa pendahuluan. "Saya lebih
setuju jika wewenang praperadilan itu diperluas, jadi tak perlu
membuat lembaga baru yang akan merepotkan nantinya," kata Eddy. (Amir
Sodikin)
Hingga Kamis (3/7) malam, di media sosial terutama Twitter, terus diwarnai adu kencang beberapa tagar… Read More
Hingga Minggu (8/6) siang pukul 12.00, pita kampanye “I Stand on The Right Side” meroket… Read More
Walaupun akan merepotkan, Komisi Pemilihan Umum sudah mengantisipasi putusan MK jika menginginkan pemilu serentak pada… Read More
Figur Joko Widodo atau Jokowi dalam konstelasi politik Indonesia masih dominan dan bisa mempengaruhi iklim… Read More
Badan Pengawas Pemilu merilis peta kerawanan Pemilu 2014 untuk 510 kabupaten/kota di Indonesia. Peta itu… Read More
Masih pada joomla 1.5 yang dipasang di server dengan upgrade server ke php terkini, halamannya… Read More
Leave a Comment